Pada waktu saya berumur 7 tahun, dan nenek saya masih hidup,
saya pernah mendapati nenek menasihati nyokap saya menyangkut sayur bayam.
Jadi, ceritanya, waktu itu nyokap memasak sayur bayam, dan nyokap berencana
menghangatkan sayur bayam itu pada malam harinya untuk makan malam. Tentu saja
tujuannya agar sayur itu hangat kembali saat dinikmati.
Nah, entah bagaimana ceritanya (saya sudah agak lupa), nenek
mengetahui rencana ini, dan kemudian menasihati nyokap saya, agar tidak
memanaskan atau menghangatkan sayur bayam tersebut. “Dimakan saja dalam keadaan
dingin,” ujar nenek waktu itu.
Dan ketika nyokap bertanya “kenapa?”, nenek kemudian
menjelaskan bahwa menghangatkan kembali sayur bayam itu merupakan sesuatu yang
tidak elok atau tidak baik—“ora ilok,” kata nenek saya yang orang Jawa.
Nenek saya bukan dokter, bukan ilmuwan, bahkan tidak pernah
sekolah. Jadi dia mungkin kesulitan untuk dapat menjelaskan sesuatu secara
meyakinkan. Bagi nenek, “ora ilok” itu sudah sangat meyakinkan.
Tentu saja penjelasan itu sama sekali tidak akademis, juga
terdengar tidak ilmiah. Tetapi untungnya nyokap saya menerima penjelasan itu,
dan tidak jadi menghangatkan sayur bayam tadi. Jadi waktu itu kami pun
menikmati makan malam dengan sayur bayam yang dingin.
Ketika itu saya masih berusia 7 tahun, dan saya tidak peduli
apakah sayur bayam itu hangat, panas, atau dingin—karena saya belum kenal
istilah “selera makan”.
Saya juga tidak peduli apa alasan nenek sehingga melarang nyokap saya menghangatkan sayur bayam itu. Tetapi…
Saya juga tidak peduli apa alasan nenek sehingga melarang nyokap saya menghangatkan sayur bayam itu. Tetapi…
…empat belas tahun kemudian, ketika saya telah berusia 21
tahun, dan nenek saya telah lama meninggal dunia, saya membaca sebuah buku
kesehatan yang ditulis Louis L. Hay, yang menyebutkan bahwa sayuran semacam
bayam atau kol mengandung suatu zat yang disebut nitrat. Ketika dipanaskan, zat
bernama nitrat ini akan berubah menjadi nitrit—dan zat ini dipercaya sebagai
salah satu pencetus kanker.
Jadi, ketika bayam atau kol dibuat sayuran, dan di dalam
proses tersebut tentu saja dipanaskan di atas kompor, maka zat nitrat di dalam
bayam atau kol itu akan berubah menjadi nitrit—namun dalam kadar yang tidak
berbahaya.
Tetapi, jika sayuran tersebut dipanaskan kembali (misalnya
dihangatkan seperti yang akan dilakukan nyokap saya di atas), maka jumlah zat
nitrit tersebut akan semakin banyak, dan mulai membahayakan ketika dikonsumsi.
Aturannya, menurut Louis L. Hay, semakin sering bayam dipanaskan, zat nitrit
akan semakin terbentuk, dan kadarnya akan semakin berbahaya.
Ketika mendapati fakta itu, saya takjub, dan tiba-tiba saya
teringat pada almarhumah nenek saya. Tentu saja penjelasan Louis L. Hay dalam
buku itu sangat ilmiah dan akademis, berdasarkan perspektif medis tingkat
tinggi—karena dia memang seorang ilmuwan. Tetapi inti penjelasannya sama saja
dengan penjelasan nenek saya yang menyatakan bahwa menghangatkan sayur bayam
itu “ora ilok”.
Louis L. Hay adalah ilmuwan wanita yang buku-buku karyanya
dibaca jutaan wanita cerdas di seluruh dunia. Tetapi saya yakin nenek saya
tidak pernah membaca bukunya, karena waktu itu bahkan mungkin Louis L. Hay
masih ABG, dan belum menulis buku hebat seperti sekarang. Lalu dari mana nenek
saya tahu akibat buruk dari sayur bayam yang dihangatkan…?
Sambil menulis catatan ini, saya membayangkan, kalau saja
hari ini nenek saya masih hidup, dan saya bisa bertanya kepadanya, “Nek, dari
mana Nenek tahu hal itu ‘ora ilok’?”
Maka saya membayangkan, nenek saya akan menjawab bahwa
pengetahuan itu ia dapatkan dari ibunya. Kemudian, kalau ibu nenek saya masih
hidup, dan saya bertanya hal yang sama kepadanya, saya pun membayangkan ia akan
menjawab bahwa pengetahuan itu ia dapatkan dari ibunya lagi—dan begitu
seterusnya.
Ada warisan pengetahuan yang diturunkan secara turun
temurun, seperti tongkat estafet dari satu tangan ke tangan lain—hingga
kemudian didengar oleh generasi kita. Seperti yang saya dengar dari nenek saya,
pengetahuan tentang “ora ilok” yang kedengarannya remeh dan sepele serta tidak
akademis dan tidak ilmiah itu, juga merupakan pengetahuan yang telah diwariskan
secara turun temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Hanya pengetahuan tentang “ora ilok” saja, ada perjalanan
panjang waktu yang telah ditempuh. Dan jika ini ditelusuri hingga ke masa
lampau, saya membayangkan bahwa ratusan tahun yang lalu, ada seorang manusia
yang ditemukan tewas karena seringnya mengkonsumsi sayur bayam yang
dihangatkan. Mungkin waktu itu dunia medis belum mengetahui zat nitrat di dalam
sayur bayam, tapi fakta bahwa ada orang tewas karena hal itu, telah menjadikan
sayur bayam yang dihangatkan sebagai hal yang “ora ilok”.
Hanya percaya bahwa menghangatkan sayur bayam “ora ilok” saja,
ada ribuan orang yang selamat. Padahal mereka sama sekali tidak tahu secara
pasti apa yang menyebabkan orang tewas karena sering mengkonsumsi sayur bayam
yang dihangatkan. Mereka hanya percaya bahwa itu “ora ilok”, dan mereka tidak
menuntut jawaban yang ilmiah atau penjelasan yang terdengar akademis. Hanya
karena mereka percaya, mereka selamat.
Nah, kalau umpama sekarang saya menemui Louis L. Hay, dan
bertanya kepadanya, “Miss Louis, bisakah Anda menjelaskan konstruksi teori Anda
mengenai adanya zat nitrat dalam bayam, sehingga Anda menyarankan agar orang
tidak menghangatkan sayur bayam?”
Maka saya membayangkan, Louis L. Hay akan memaparkan
penjelasan “tingkat tinggi” yang terdengar sangat ilmiah dan akademis, tentang
hipotesis dan penelitian-penelitian yang dilakukan para dokter pendahulunya,
yang sekian puluh tahun lalu menemukan kasus orang tewas karena terserang
kanker—dan kemudian berdasarkan penelitian medis yang panjang dan melelahkan,
diketahui bahwa kanker itu ditimbulkan suatu zat bernama nitrit, yang merupakan
mutasi zat bernama nitrat, yang terdapat dalam bayam—dan hal itu terjadi karena
bayam tersebut dijadikan sayur yang sering dikonsumsi orang itu dengan cara
dihangatkan… dan bla-bla-bla…
Intinya sama.
Penjelasan Louis L. Hay yang sangat rumit, dan penjelasan
nenek saya yang cuma “ora ilok” memiliki esensi yang sama. Louis L. Hay—dan
para ilmuwan lain—mendapatkan fakta itu sebagai pengetahuan empiris yang
didasarkan pada penelitian ilmiah, sedangkan nenek saya—dan para nenek
lain—mendapatkan fakta itu sebagai keyakinan positif yang didasarkan
kepercayaan pada para pendahulunya.
Nenek saya bukan dokter, bukan ilmuwan, bukan pakar
kesehatan, sama seperti jutaan nenek sederhana lain di dunia ini. Tetapi, hari
ini, tiba-tiba saya menyadari bahwa nenek saya tidak kalah hebat dibanding
wanita hebat semacam Louis L. Hay yang sangat saya kagumi dan hormati.
Nah, omong-omong soal nenek, tadi sore saya juga mendapatkan
pengalaman penting tentang seorang nenek.
Ceritanya, bocah lelaki tetangga saya menjemur pakaian di
loteng rumahnya yang tidak beratap. Menjelang maghrib, nenek si bocah lelaki
mendapati pakaian itu masih terdapat di tambang jemuran, dan dia panik bukan
kepalang. Karena sudah tua, si nenek tidak bisa naik ke loteng yang tinggi itu
untuk mengambil jemuran. Jadi dia pun berteriak memanggil-manggil cucunya (si
bocah lelaki) agar segera mengambil semua jemurannya.
Si bocah lelaki menemui neneknya, dan menjawab dengan
ogah-ogahan, “Lhah, Nek, apa salahnya sih kalau jemuran nggak diambil?”
Dan si nenek menjawab dengan jawaban khas nenek sederhana
lain—sama seperti jawaban almarhumah nenek saya dulu, “Itu ora ilok…!”
Si bocah lelaki tertawa—menertawakan neneknya. Sementara si
nenek terlihat semakin panik. Nah, kebetulan waktu itu saya sedang merokok di
teras rumah. Jadi, sebagai orang yang beriman kepada Tuhan dan berfalsafahkan
Pancasila, saya pun berkata pada si bocah lelaki, “Hei, pal, percaya deh sama
nenekmu! Ambil tuh, jemurannya!”
Saya percaya, nenek tetangga saya itu sama hebatnya dengan
almarhumah nenek saya.
Hari ini, saya belum tahu “mengapa” jemuran pakaian harus
segera diambil bila hari telah sore. Tetapi, saya percaya bahwa itu “ora
ilok”—dan saya selalu berusaha, bagaimana pun caranya, untuk selalu mengambil
pakaian saya dari jemuran ketika senja telah tiba. Mungkin… bertahun-tahun
mendatang saya baru tahu jawabannya.
0 komentar:
Posting Komentar