Pada waktu saya berumur 7 tahun, dan nenek saya masih hidup,
saya pernah mendapati nenek menasihati nyokap saya menyangkut sayur bayam.
Jadi, ceritanya, waktu itu nyokap memasak sayur bayam, dan nyokap berencana
menghangatkan sayur bayam itu pada malam harinya untuk makan malam. Tentu saja
tujuannya agar sayur itu hangat kembali saat dinikmati.
Nah, entah bagaimana ceritanya (saya sudah agak lupa), nenek
mengetahui rencana ini, dan kemudian menasihati nyokap saya, agar tidak
memanaskan atau menghangatkan sayur bayam tersebut. “Dimakan saja dalam keadaan
dingin,” ujar nenek waktu itu.
Dan ketika nyokap bertanya “kenapa?”, nenek kemudian
menjelaskan bahwa menghangatkan kembali sayur bayam itu merupakan sesuatu yang
tidak elok atau tidak baik—“ora ilok,” kata nenek saya yang orang Jawa.
Nenek saya bukan dokter, bukan ilmuwan, bahkan tidak pernah
sekolah. Jadi dia mungkin kesulitan untuk dapat menjelaskan sesuatu secara
meyakinkan. Bagi nenek, “ora ilok” itu sudah sangat meyakinkan.
Tentu saja penjelasan itu sama sekali tidak akademis, juga
terdengar tidak ilmiah. Tetapi untungnya nyokap saya menerima penjelasan itu,
dan tidak jadi menghangatkan sayur bayam tadi. Jadi waktu itu kami pun
menikmati makan malam dengan sayur bayam yang dingin.
Ketika itu saya masih berusia 7 tahun, dan saya tidak peduli
apakah sayur bayam itu hangat, panas, atau dingin—karena saya belum kenal
istilah “selera makan”.